Catatan : Kabid PIAK Disdukcapil Bone Bolango, Dudiyanto Pakaya, S.Kom / Mahasiswa S2 Prodi Magister Kependudukan dan Lingkungan Hidup Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo
Bone Bolango, Berita – Jauh di jantung Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Kecamatan Pinogu berdiri sebagai wilayah terluas di Kabupaten Bone Bolango. Kawasan yang dahulu menjadi pusat Kesultanan Suwawa ini bukan sekadar saksi sejarah, tetapi juga benteng terakhir bagi harmoni antara manusia dan alam. Pinogu mengajarkan bahwa keterisolasian tidak selalu berarti keterbelakangan, melainkan cara alam menjaga dirinya sendiri dari kerakusan modernitas.
Dibutuhkan delapan jam perjalanan melewati hutan dan medan berat untuk mencapai wilayah ini. Tidak ada mobil yang bisa melintas hanya sepeda motor modifikasi atau berjalan kaki yang memungkinkan. Bagi sebagian orang, kondisi ini dianggap sebagai hambatan pembangunan. Namun bagi warga setempat, justru di situlah letak kekuatan Pinogu. Hutan tetap lestari karena sulit dijangkau, udara tetap bersih karena bebas polusi, dan sungai masih jernih karena tak tersentuh limbah industri. Dalam bahasa ekologis, kondisi ini disebut destruktif-kreatif dalam kerumitan yang tampak merugikan ternyata menciptakan perlindungan alami bagi lingkungan.
Kopi yang Tumbuh dari Kesabaran Alam
Pinogu dikenal sebagai tanah kelahiran kopi legendaris. Sejak masa kolonial Belanda pada abad ke-19, daerah ini sudah menjadi penghasil kopi jenis robusta dan liberika. Konon, biji kopi dari hutan Pinogu pernah menjadi favorit Ratu Wilhelmina di Belanda. Uniknya, hingga kini kopi tersebut masih ditanam tanpa pupuk kimia maupun pestisida. Pohon-pohon kopi tumbuh liar di tengah hutan, seolah menjadi bagian dari ekosistem yang saling bergantung.
Setiap biji yang dipetik membawa aroma khas yang sulit ditiru daerah lain. Rasanya lembut, sedikit asam seperti buah ceri, dan tidak meninggalkan rasa pahit di lidah. Cita rasa ini lahir bukan karena teknologi modern, melainkan dari kesadaran ekologis masyarakat yang menolak intervensi berlebihan. Mereka membiarkan alam bekerja sesuai ritmenya menghormati siklus tumbuh, memelihara keseimbangan tanah, dan menjaga keberlanjutan pohon.
Namun di balik harum kopi itu, tersimpan tantangan besar. Medan yang sulit dijangkau membuat distribusi hasil panen terhambat. Biaya transportasi melonjak hingga delapan ratus ribu rupiah untuk perjalanan pulang pergi. Para petani kerap menjual hasilnya dengan harga rendah karena sulit mengakses pasar. Di sinilah tantangan destruktif berubah menjadi peluang kreatif. Keterbatasan mendorong lahirnya inovasi local sehingga masyarakat mulai memproduksi kopi bubuk siap saji, kemasan ramah lingkungan, dan bahkan menjadikan kebun kopi sebagai destinasi wisata alam bagi peneliti maupun pencinta lingkungan.
Kreativitas dari Keterpencilan
Fenomena ini menunjukkan bahwa kreativitas sejati tidak selalu lahir di ruang urban, melainkan di tempat di mana manusia terdesak oleh keterbatasan. Di Pinogu keterpencilan memaksa masyarakat berpikir adaptif. Mereka mengelola lahan secara organik, menanam padi dan jagung tanpa pestisida, serta memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan rumah tangga tanpa merusak sumbernya. Sistem pertanian tradisional dipertahankan bukan karena ketinggalan zaman, melainkan karena terbukti menjaga keseimbangan ekosistem.
Pola pikir seperti ini menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan destruktif-kreatif bekerja dalam konteks lingkungan. Ketika modernisasi berpotensi merusak, masyarakat justru menemukan cara untuk berinovasi tanpa mengorbankan alam. Di sisi lain, keadaan geografis yang menantang mendorong pemerintah daerah berpikir strategis dalam membangun akses transportasi tanpa menebang hutan, memperkuat ekonomi tanpa merusak sumber daya, serta memperkenalkan teknologi yang ramah lingkungan.
Pinogu tidak menolak perubahan, tetapi menuntut bentuk pembangunan yang berpihak pada alam. Program pelatihan pengolahan hasil bumi, dukungan terhadap pemasaran digital, serta pemanfaatan energi bersih dapat menjadi langkah nyata. Dengan begitu, kesejahteraan meningkat tanpa kehilangan jati diri ekologis.
Menjaga Warisan, Menghidupkan Masa Depan
Sejarah panjang Pinogu bukan hanya tentang kerajaan masa lampau, tetapi juga kisah keberanian masyarakat mempertahankan ruang hidup di tengah tekanan modernitas. Dalam pandangan banyak ahli lingkungan, wilayah seperti Pinogu adalah contoh “zona keseimbangan” tempat di mana manusia dan alam masih berdialog secara sehat. Tidak ada industri besar, tidak ada pabrik, tidak ada asap kendaraan yang ada hanyalah deru angin, aroma kopi, dan suara burung yang masih bebas di langit hutan.
Tetapi romantisme semacam itu tidak boleh membuat kita abai terhadap kebutuhan warga. Akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tetap harus diperjuangkan. Tantangannya adalah bagaimana menghadirkan kemajuan tanpa menukar kehijauan hutan dengan abu pembangunan. Di sinilah pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu duduk bersama mencari format baru pembangunan ekologis.
Konsep eco-economy yang diterapkan di beberapa negara bisa menjadi inspirasi. Pinogu bisa dijadikan kawasan percontohan ekonomi hijau di tingkat provinsi. Kopi organik, beras alami, dan jagung lokal bukan hanya komoditas, melainkan simbol kemandirian yang berakar dari kesadaran ekologis. Jika dikelola dengan baik, Pinogu dapat menjadi contoh nasional bagaimana lingkungan dan ekonomi berjalan beriringan.
Pesan dari Tanah yang Terjaga
Dari lembah hijau Bone Bolango, Pinogu mengirim pesan yang menohok dunia modern bahwa kemajuan sejati bukan tentang seberapa cepat kita membangun, tetapi seberapa dalam kita memahami makna menjaga. Alam tidak butuh manusia, tetapi manusia sepenuhnya bergantung pada alam. Itulah filosofi hidup masyarakat Pinogu yang diwariskan dari leluhur Kesultanan Suwawa hingga kini.
Dalam perspektif destruktif-kreatif, Pinogu mengajarkan bahwa kesulitan dapat menjadi sumber kekuatan. Ketika jalan terjal menantang, mereka menciptakan cara baru untuk bertahan. Ketika pasar sulit dijangkau, mereka memperkuat jaringan komunitas. Ketika modernisasi mengancam, mereka menegakkan nilai tradisi. Inilah bentuk pembangunan yang sejati melalui pembangunan yang tumbuh dari bumi, bukan menindasnya.
Kisah Pinogu bukan sekadar catatan geografis di peta Gorontalo, tetapi cermin bagi bangsa yang tengah mencari keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian alam. Di tengah hiruk-pikuk kota dan kepungan industri, ada secuil wilayah yang masih hidup dalam damai dengan hutan. Dari sanalah kita belajar bahwa kadang, untuk maju, manusia justru harus kembali pada akar akar yang menumbuhkan kehidupan, bukan menghancurkannya. ***