Kota Gorontalo, Berita – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Gorontalo didorong untuk tidak hanya menjadi program nasional biasa, tetapi menjadi gerakan budaya yang berakar pada nilai-nilai adat dan kearifan lokal.
Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo, Prof. Rauf Hatu, menilai bahwa keberhasilan MBG akan jauh lebih kuat bila selaras dengan falsafah Gorontalo, tradisi pangan lokal, hingga peran keluarga dalam menjaga gizi anak.
Prof Rauf Hatu menegaskan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus dikembangkan dengan pendekatan budaya agar memberikan dampak maksimal bagi anak-anak di Gorontalo. Ia menjelaskan bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya bergantung pada aspek gizi semata, tetapi juga pada kemampuan daerah mengintegrasikan nilai-nilai adat, pangan lokal, dan praktik budaya masyarakat Gorontalo.
Menurutnya, MBG ini sangat relevan dengan falsafah masyarakat Gorontalo yang menempatkan makanan sebagai bagian penting dari syariat, kebersihan, serta keberkahan kehidupan.
“Falsafah adat bersendikan syariat harus tercermin dalam pelaksanaan MBG. Makanan yang disajikan kepada siswa harus halal, bersih, dan bermanfaat, sesuai prinsip dasar masyarakat Gorontalo,”tegas Prof. Rauf Hatu saat memberikan materi pada Focus Group Discussion (FGD) lintas sektor terkait promosi dan edukasi MBG yang digelar di Hotel Aston, Kota Gorontalo, Selasa (18/11/2025).
Dirinya mengungkapkan, sejumlah tradisi dan praktik pangan lokal dinilai sangat mendukung keberhasilan MBG. Ia mencontohkan tradisi Tilitihu, yaitu teknik pengawetan ikan dengan pengasapan atau garam, yang bisa menjadi sumber protein tahan lama bagi sekolah. Tradisi Tuwoto dan budaya memasak dalam keluarga besar juga menanamkan kebiasaan makan sehat sejak kecil.
Selanjutnya, peran ibu, yang dikenal dalam budaya Motoliango, sangat penting dalam menjaga gizi keluarga dan dapat diperkuat melalui edukasi gizi dalam program MBG. Bahkan nilai tradisi Mopotilolo dapat diadaptasi menjadi bagian dari orientasi siswa baru dengan edukasi gizi di sekolah.
“Pangan lokal seperti ikan tuna, cakalang, roa, jagung bose, pisang, dan ubi mungkin memiliki nilai gizi tinggi dan mudah diperoleh dari masyarakat nelayan, petani, serta UMKM setempat,”ungkapnya.
Ia juga menilai, keberhasilan MBG di Gorontalo membutuhkan kolaborasi kuat antar sektor. Pemerintah pusat berperan dalam regulasi dan pengawasan, sekolah menyediakan dapur sehat dan ruang edukasi gizi, lembaga adat menjaga keselarasan budaya, sementara UMKM, nelayan, dan petani menjadi pemasok utama bahan pangan.
“Namun, sejumlah tantangan masih harus dihadapi, seperti konsistensi pasokan pangan lokal, standar higienitas dapur sekolah, dan koordinasi lintas sektor,”ujarnya.
Prof. Rauf juga memberikan lima rekomendasi strategis untuk memperkuat MBG berbasis kearifan lokal, yaitu integrasi nilai adat dalam penyusunan menu sekolah, pelatihan pengolahan makanan bergizi berbahan pangan lokal, penguatan produksi pangan lokal, edukasi gizi bagi siswa dan orang tua secara berkala, dan enguatan rantai pasok pangan yang stabil dan berkelanjutan.
“Jika pendekatan budaya dan nilai Huyula terus diperkuat, MBG tidak hanya menjadi program pemerintah, tetapi menjadi gerakan masyarakat yang mampu membangun pola makan sehat dan berkelanjutan bagi generasi Gorontalo,”tandasnya. (Tim Redaksi)